Namanya mbah Muhadi, usianya hampir 90 tahun. Beliau adalah imam mushola yang baru selesai dipugar setelah berpuluh-puluh tahun 'mengabdikan diri'. Dari aku masih kecil dulu sampe sekarang, bentuk mushola itu tidak mengalami banyak perubahan. Cat putih pudar, malah dibeberapa sudut warna putihnya sudah tak terlihat karena tertutup lumut tipis. Dulu lantainya cuma dari semen kasar yang sudah ditambal disana-sini, ditambal nya-pun dengan bahan material seadanya. Gentengnya hampir setiap musim hujan datang selalu minta diganti. Aku sering melihat mbah Muhadi sendiri yang 'thengkrekan' naik keatas dan disarungnya telah terselip satu-dua genteng, karena memang tidak banyak yang harus diganti.
Mushola kecil itu (kami menyebutnya Langgar) berdiri 50 meter dari rumah simbahku, diperkampungan kecil yang pernah menyandang status Inpres Desa Tertinggal. Keadaan geografis yang memaksa kelurahan dimana aku mengenyam pendidikan dasar mendapat gelar yang samasekali tidak membanggakan, IDT. Masyarakat disana juga kurang sadar arti pentingnya pendidikan. Lulus SMP atau SMA berarti berhenti juga masa pendidikan formal, setelah itu merantau ke kota karena berhektar-hektar sawah yang ada hanya mengandalkan irigasi dari tadah hujan, sebelum akhirnya dibangun waduk kecil dibatas kelurahan.
Awal tahun 1990 adalah masa kejayaan Langgar karena semua kegiatan keagamaan dukuh dari mulai TPA, sholat jum'at, pengajian rutin hingga pengajian akbar berpusat disana.
Dulu, di Langgar itu, bulan ramadhan benar-benar terasa bulan yang sangat mulia, sangat kami nantikan. Sore hari untuk TPA, malamnya jadi rumah singgah remaja-remaja yang takut terlambat sahur hingga memilih tidur di mushola. Karena mbah Muhadi pasti akan datang ke mushola membangunkan kami.
Mbah Muhadi ini sangat tenang dan sabar, hampir tidak pernah marah. Padahal setiap malam istirahatnya selalu terganggu karena banyak preman-preman kampung yang sedang berusaha insyaf ikut tidur di mushola. Dasar preman, di mushola-pun tak tau aturan karena berulang-ulang meneriakkan sahur ditelinga anak-anak kecil yang sedang tidur, padahal baru jam 1 malam, belum waktunya sahur. Terang saja si bocah menangis sejadi-jadinya karena ditelinganya masih terngiang teriakan setan. Astaghfirullah..
Penghakiman yang dilakukan mbah Muhadi hanya meminta tolong untuk kumpul sebentar disela-sela acara pembagian takjilan. Kemudian memberikan sedikit nasehat jika kami sudah kelewatan berbuat onar didalam Langgar. Tentu saja kami yang masih kecil hanya manggut-manggut, nggah-nggeh manthuk-manthuk karena kedua tangan memegang sepasang parcel ndeso sedangkan yang dikunyah dimulut belum juga ditelan. Waktu yang tepat memberi wejangan karena organ tubuh yang sering digunakan untuk bercanda sedang disibukkan dengan makanan.
Jika mbah Muhadi adalah pribadi yang bersahaja, lain halnya dengan mbah Mitro, sang patroli mushola. Mbah Mitro ini jarang ikut taraweh berjamaah, tapi selalu aktif di mushola. Tempat favoritnya ada di sudut kanan mushola yang remang-remang karena pijar bohlam DOP 15 watt dari dalam ruangan makmum laki-laki terhalang kentongan dan bedug yang besar. Bersila memegang tasbih sambil mengawasi anak-anak kecil yang baru belajar mengenal Tuhan.
Beliau ini terkenal galak dan tidak segan mengusir makmum yang berisik. Bayangkan jika anda sedang sujud kemudian salah satu kaki anda ditarik dari belakang, diseret keluar dari mushola. Malu? Itu jelas. Aku pernah mengalaminya. Dan sialnya, aku berada di shaf paling belakang sehingga tanpa kesulitan ditariknya kakiku pelan-pelan. Satu jari telunjuknya melintang tegak didepan bibir memberi isyarat untuk diam, matanya melotot menatapku. Menakutkan!! Ternyata dari tadi aku telah di intai. Aku memang salah karena sempat cekikikan, tak kuat menahan tawa karena saat rukuk aku melihat jempol kaki orang disebelahku berpola aneh, tanpa kuku, gemuk dan bersisik seperti jahe.
Temanku lebih naas. Panggilannya Pele, yang memang mirip bintang sepakbola asal Brasil itu, juga pinter bermain bola. Bedanya ada pada bentuk wajah. Pele yang asli berwajah oval tegas, dan Pele kawanku itu berwajah trapesium.
Sore sebelumnya dia mati-matian menggalang pertahanan tim sepakbola U-15 RT kami. Malamnya saat taraweh dia berkelakuan aneh. Setelah sujud pertama, gerakan seharusnya adalah duduk diantara dua sujud. Tapi tidak dengan Pele. Beberapa kali tidak mau duduk tuma'ninah , tapi terus meneruskan sujud. Berulang-ulang sampai rekaat ke delapan. Capek, dia bilang begitu padaku. Aku yang duduk disebelahnya cemas karena aku yakin tak lama lagi mbah Mitro akan membantai begundal kecil ini.
Benar saja! Mbah Mitro menjewer dan memaki-makinya didepan umum setelah sholat selesai. Tak lupa menghukum bek tangguh itu dengan wajib mengisi padasan sampai lebaran. Itu berarti harus menimba dari sumur berdiameter lebar yang dalamnya 20 meter lebih. Setiap hari, setiap waktu sholat dan tidak boleh sampai kosong! Beruntung mbah Muhadi berhasil membujuk polisi mushola itu untuk memberikan grasi.
Dan hari kemenanganpun tiba. Pada malam Idul Fitri kami bersuka cita, berkumpul, berbaris beramai-ramai mengelilingi perkampungan dengan puluhan obor ditangan. Pele berjalan paling depan. Suaranya lantang, mungkin menganggap dirinya adalah konduktor dari rombongan orkestra dibelakangnya. Wajahnya berseri-seri seolah baru saja mendapatkan Lailatul Qodar pada malam ke-30.
Takbir keliling, tradisi yang sekarang hampir punah. Barisan pertama adalah santri-santri TPA dan pondok pesantren. Beberapa pemuda berbadan tegap kebagian jatah memukul bedug yang diletakkan diatas gerobak ada dibaris kedua. Dibelakangnya rombongan rebana, remaja putri dan ibu-ibu. Selanjutnya adalah pemuda dan bapak-bapak sebagai pengawal. Sedang didalam Langgar, mbah Muhadi dan beberapa orang terlihat khusyuk menggemakan takbir.
Jika dibulan puasa selalu ramai, maka hari biasa Langgar sangat sepi. Apalagi setelah ditengah pedukuhan dibangun masjid yang lebih besar, hingga Langgar mbah Muhadi 'kalah saingan'. Kadang aku berpikir kenapa harus terlalu banyak masjid dalam satu kampung kecil? Katon ora guyub, ora elok disawang dari sudut pandang non-muslim.
Selain bulan ramadhan, mbah Muhadi seolah melakukan One Man Show. Membersihkan Langgar sendiri, adzan sendiri, imam sendiri. Bahkan kalau subuh, makmumnya cuma dua: istrinya dan penjaga mushola yang galak tadi. Miris..
Sekarang mushola itu sudah keren. TOA dan tiangnya juga baru, suaranya nyaring sekali terdengar sampai ke desa sebelah. Lantainya, dindingnya, genteng dan rangka atapnya, semua baru. Wudhu pun tidak susah harus menimba air dulu. Mbah Muhadi yang semakin renta semakin mencintai Langgar itu, rumah Allah yang insyaallah akan terus memberinya pahala karena berdiri diatas tanah hak miliknya. Semakin semangat melafalkan do'a dan puji-pujian setelah beliau sendiri yang melantunkan adzan sambil menunggu makmum.
Tubuhnya tak lagi tegap, tapi bacaan ayat sucinya masih jelas. 'Cengkok' pada lafal Amien yang khas, sama seperti dulu saat pertama kali mengajari almarhum simbahku dan aku memeluk Islam.
Lama sekali aku tak mendengarnya, aku rindu lantunan merdu lelaki mulia itu.